Oleh : A. Hamied*
“Jadi tolong pak Masduki, sampaikan kepada Pemprov Banten bahwasanya Kota Tangerang telah bebas dari gizi buruk, masyarakat Kota Tangerang semua sehat dan sejahtera”.
Pernyataan itu disampaikan Walikota Tangerang, Wahidin Halim, saat memberikan sambutan pada acara peringatan Hari Jadi Rumah Sakit Sari Asih Group ke-30 dan peresmian rumah sakit Arrahmah, Karawaci, Tangerang, 15 Juni 2011. Namun beberapa hari kemudian, masyarakat dikagetkan oleh peristiwa menyedihkan tentang terlantarnya keluarga miskin yang tidak memperoleh layanan kesehatan. Bahkan di antara mereka harus tersiksa kehilangan nyawa lantaran tak kunjung mendapatkan perawatan.
Padahal di bidang kesehatan dan pendidikan, pemerintah kota (Pemkot) Tangerang secara tegas menyatakan bahwa orang miskin menjadi tanggung jawab pemerintah. Tak tanggung-tanggung, untuk melaksanakan itu, pada tahun 2008 lalu Pemkot Tangerang menerbitkan kartu multiguna sebagai jaminan gratis layanan kesehatan dan pendidikan bagi warga miskin. Anggaran pada tahun 2010 sebesar 9,9 miliar, dan pada tahun 2011 dinaikkan lagi mencapai 10 miliar.
Akan tetapi, lain di anggaran lain di kenyataan. Warga miskin di Kota Tangerang tetap terlantar. Program kartu multiguna ibarat angin syurga sesaat yang membukakan senyum warga miskin tapi berujung penderitaan. Pernyataan Walikota Wahidin di atas pun ibarat buih yang membentur karang, mengawang-awang dan nyaris tak bermakna.
Bagaimana tidak, bukankah pernyataan “masyarakat Kota Tangerang semua sehat dan sejahtera” menunjukkan bahwa semua masyarakat Kota Tangerang bebas dari penyakit dan jeratan kemiskinan? Miskin Guna
Alih-alih mengevaluasi program kartu multiguna yang dijalankan, Pemkot Tangerang justru menafikan fakta kematian warga miskin yang terlantar. Dalam lanjutan sambutan itu, Walikota Tangerang menganggap wajar bila terdapat keluarga miskin yang ditelantarkan. Mengutip pernyataan Wahidin Halim: “Jadi kalau pun ada yang terlewatkan, itu hal yang tidak bisa dibesar-besarkan dan bukan tolok ukur dari suatu kegagalan pemerintah daerah Kota Tangerang”.
Dalam etika kekuasaan, pernyataan itu tidak layak dikeluarkan oleh seorang pemimpin yang sejatinya bertanggungjawab atas nasib semua warganya. Sebab, pernyataan itu merupakan bentuk penafian atas fakta di lapangan serta pengelakan atas kelalaian kinerja pemerintah.
Tidak berhenti di situ, Pemkot Tangerang pada tanggal 27 Juni 2011 menyampaikan hasil-hasil program kartu multiguna yang dimuat di beberapa media massa lokal. Dalam ulasannya, Pemkot menjelaskan bahwa kartu multiguna sangat bermanfaat dan berhasil memberikan layanan berkualitas pada warga miskin. Bahkan pasien kartu multiguna dirawat di ruang AC sebagaimana di ruang VIP. Dalam lansirannya dilaporkan, terdapat 718 ibu melahirkan gratis dengan kartu multiguna seraya menunjukkan biaya terbesar pasien yang ditanggung pemerintah.
Menurut hemat penulis, laporan itu jauh panggang dari api jika ditujukan sebagai bentuk klarifikasi atas anggapan masyarakat yang menilai kartu multiguna miskin guna. Sekaratnya warga miskin karena tidak mendapatkan perawatan meski mempunyai kartu multiguna (baca: Maryati dan Linda Wahyuningsih) adalah bukti yang jelas di depan mata, mengalahkan angka-angka. Di titik inilah Pemkot Tangerang harus menyadari bahwa nyawa tidak bisa hanya dijelaskan dengan angka-angka saja.
Hambatan Birokrasi
Salah satu penyebab tidak meratanya warga miskin memperoleh kartu multiguna adalah birokrasi yang rumit dan berbeli-belit. Meski pemerintah Kota Tangerang mendapatkan penghargaan dalam hal pengelolaan birokrasi, seperti predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari auditor keuangan, tetapi birokrasi yang ada belum mengejawantahkan semangat reformasi birokrasi.
Maka pemerintah harus memberikan prioritas dengan menjadikan mereka sebagai subjek pelayanan birokrasi.
Namun fakta yang terjadi selama ini, khususnya warga miskin, menjadi objek dari birokrasi. Budaya feodalisme masih sangat kentara di mana aparatur menganggap dirinya sebagai tuan yang harus dilayani daripada menjadikan masyarakat sebagai subjek layanan. Terbukti, untuk mendapatkan kartu multiguna misalnya, banyak warga miskin yang merasa kesulitan dalam mengurus persyaratan seperti meminta keterangan kecamatan, surat rujukan puskesmas, dan sebagainya.
Selain itu, hambatan lain adalah adanya perilaku diskrimintif dari birokrasi setempat dalam melayani kartu multiguna. Tidak hanya itu, perlakuan diskriminatif juga terjadi kepada pemegang kartu multiguna ketika mereka datang ke rumah sakit. Berbagai alasan dikemukakan mulai dari penuhnya rumah sakit, penuhnya pelayanan hingga fasilitas yang kurang memadai. Oleh karena itu, kondisi ini tidak bisa dibiarkan begitu saja lepas dari perhatian kita bersama. Semuanya harus dinilai dan disikapi secara objektif sesuai dengan tuntutan dan harapan bersama.
*)Direktur Visi Indonesia